BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
“Zuhhad” (orang-orang yang berperilaku
zuhud), ”nussak” (orang-orang yang berusaha melakukan segala ajaran agama) atau
“ubbad” (orang yang rajin melaksanakan ibadah). Lama kelamaan cara kehidupan
rohani yang mereka tempuh, kemudian berkembang menjadi alat untuk mencapai
tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam yaitu berkehendak mencapai
hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepeda Allah SWT. yang
sebenar-benarnya, melalui riyadloh (laku prihatin), mujahadah (perjuangan batin
yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir antara dirinya dan
Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah) atau dengan istilah
lain, laku batin yang mereka tempuh di mulai dengan ”takhalli” yaitu
mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela, lalu ”tahalli” yaitu menghiasi hati
dengan sifat yang terpuji, lalu ”tajalli” yaitu mendapatkan pencerahan dari
Allah SWT.
Tata cara kehidupan rohani tersebut
kemudian tumbuh berkembang dikalangan masyarakat Muslim, yang pada akhirnya
menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan sebutan ilmu
“Tashawuf”. Sejak munculyna Tashawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah,
sebagai kelanjutan dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah “Thoriqoh”
yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada suatu
yang tertentu, yaitu sekumpulan aqidah-aqidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan
tertentu bagi kaum Shufi.
Thoriqoh adalah salah satu amaliyah
keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW.
Bahkan, perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah paktek kehidupan rohani
yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thoriqoh dari generasi ke
generasi sampai kita sekarang. Akhirnya muncul aliran-aliran thoriqoh yang
mengambil nama dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qadariyah,
Syadzaliyyah, Syattariyah, Naqsabandiyah, Qadariyah wa Naqsyabandiyah,
Tijaniyyah, Sanusiyyah dan lain sebagainya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah ajaran tarekat Qadariyah
2.
Bagaimanakah ajaran tarekat Syadziliyyah
3.
Bagaimanakah ajaran tarekat Syattariyah
4.
Bagaimanakah ajaran tarekat Naqsyabandiyah
5.
Bagaimanakah ajaran tarekat Qadariyah wa
Naqsyabandiyah
6.
Bagaimanakah ajaran tarekat Tijaniyah
7.
Bagaimanakah ajaran tarekat Sanusiyyah
C.
Tujuan
1.
Mengetahui dan memahami ajaran tarekat Qadariyah
2.
Mengetahui dan memahami ajaran tarekat
Syadziliyyah
3.
Mengetahui dan memahami ajaran tarekat Syattariyah
4.
Mengetahui dan memahami ajaran tarekat Naqsyabandiyah
5.
Mengetahui dan memahami ajaran tarekat Qadariyah
wa Naqsyabandiyah
6.
Mengetahui dan memahami ajaran tarekat Tijaniyah
7.
Mengetahui dan memahami ajaran tarekat Sanusiyyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aliran Tarekat Qadariyah
Nama tarekat ini dinisbatkan kepada seorang
sufi besar yang sangat legendaris, dengan sekian banyak sebutan kehormatan,
antara lain: Qutub al-auliya’, Sahib al-karamat, dan Sultan al-auliya’. Ia
diyakini sebagai pemilik dan pendiri tarekat ini. Sufi besar itu adalah Syekh
Muhyiddin Abd Qadir al-Jailani.[1]
Syekh Abd. Qadir al-Jailani dilahirkan
pada tahun 470 H (1077 M) di Jilan (wilayah Iraq sekarang), dan meninggal di
Baghdad pada tahun 561 H (1166 M).[2]
Beliau adalah seorang sufi besar yang kealiman dan kepribadiannya banyak
mendapat pujian dari para sufi dan ulama’ sesudahnya.
Perkembangan tarekat ini ke berbagai
daerah kekuasaan Islam di luar Baghdad adalah suatu hal yang wajar. Karena
sejak zaman Syekh Abd. Qadir al-Jailani, sudah ada beberapa muridnya yang
mengajarkan metode dan ajaran tasawufnya ke berbagai negeri Islam.
Tarekat Qadariyah sampai dengan sekarang
ini, masih merupakan tarekat yang terbesar di dunia Islam, dengan berjuta-juta
pengikutnya. Mereka tersebar di berbagai penjuru dunia, seperti Yaman, Mesir,
India, Turki, Syiria, dan Afrika. Dan ada sekitar 29 jenis tarekat baru yang
merupakan modifikasi baru dari Tarekat Qadariyah.[3]
Ini terjadi karena dalam Tarekat Qadariyah ada kebebasan bagi para murid yang
telah mencapai tingkatan mursyid, untuk tidak terikat dengan metode yang diberikan
oleh mursyidnya, dan bisa membuat metode riyadah tersendiri.
Dasar pokok ajaran
Thariqoh Qadariyah yaitu:
•
Tinggi cita-cita
•
Menjaga kehormatan
•
Baik pelayanan
•
Kuat pendirian
•
Membesarkan nikmat Tuhan
B.
Aliran Tarekat Syadziliyyah
Tarekat Syadziliah, dihubungkan kepada
Syekh Ahmad Asy-Syadzili. Nama kecil Syekh Abul
Hasan Asy Syadzili adalah Ali, gelarnya adalah Taqiyuddin, Julukanya adalah
Abu Hasan dan nama populernya adalah Asy-Syadzili. Di kalangan tarekat Syadziliyah silsilah keturunan asy-Syadzili dihubungkan dengan
Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian ia juga mempunyai hubungan darah
dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah SAW. Nasab atau garis keturunan
Abu Hasan al-Syadzili bersambung sampai dengan Rasulullah SAW. Sebagian besar sumber
yang berbicara tentang sejarah Asy-Syadzili mengemukakan bahwa dia lahir di
negeri Maghrib pada tahun 593 H (1197 M), di sebuah desa yang bernama Ghumarah, dekat kota Sabtah, negeri Maghrib al Aqsho atau Marokko,
Afrika Utara, dan meninggal di Mesir pada tahun 656H/1258M, yang mempunyai pengikut di Mesir, Afrika
Utara, Syiria, dan Negri-negri Arab lainnya. [4]
Pokok-pokok ajarannya antara lain:
·
Bertaqwa kepada Allah ditempat sunyi dan ramai
·
Mengikuti sunnah dalam segala perkataan dan
perbuatan
·
Berpaling hati dari makhluk waktu berhadapan dari
waktu membelakangi
·
Kembali kepada Allah diwaktu senang dan susah
C.
Aliran Tarekat Syattariyah
Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk
mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di
dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana'. Penganut Tarekat
Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk.
Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang
ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai
pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada
tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta
menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus
dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal,
qana'ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.
Sebagaimana halnya tarekat-tarekat lain, Tarekat
Syattariyah menonjolkan aspek dzikir di dalam ajarannya[5].
Tiga kelompok yang disebut di atas, masing-masing memiliki metode berdzikir dan
bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada
Allah SWT. Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca
al-Qur'an, melaksanakan haji, dan berjihad. Kaum Abrar menyibukkan diri dengan
latihan-latihan kehidupan asketisme atau zuhud yang keras, latihan ketahanan
menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati. Sedang
kaum Syattar memperolehnya dengan bimbingan langsung dari arwah para wali.
Menurut para tokohnya, dzikir kaum Syattar inilah jalan yang tercepat untuk
sampai kepada Allah SWT.
Ajaran-ajaran tarekat Syattariyah yaitu praktek
yoga yang merupakan ajaran agama hindu, diadopsi dan dipraktekkan menjadi
bagian dari formulasi dzikir tarekat syattariyah, karna memang konsep dan
ritual Islam, khususnya aspek tasawuf memiliki kedekatan dengan dengan ajaran
Hindu.
Dalam apa yang disebut sebagai astanga-yoga
misalnya, terdapat 5 hal berkaitan dengan latihan tubuh lahir, yakni:
pengendalian diri, ketaatan, duduk dengan posisi tertentu, mengatur nafas dan
menutup seluruh panca indra.
Adapun 3 hal yang berkaitan dengan penyempurnaan
rohani, juga merupakan kelanjutan dari 5 tahap lahir sebelumnya adalah
konsentrasi pikiran pada satu fokus tertentu, meditasi, samadi. Yang disebut terakhir
merupakan suatu keadaan yang agak sulit dilukiskan dengan kata-kata. Seseorang
yang tengah berada dalam keadaan samadi, akan merasakan kebahagiaan besar dalam
dirinya. Lebih jauh kesendirianya sebagai manusia pun akan hilang. Dalam dunia
tasawuf, keadaan samadhi ini mirip dengan konsep fana, yang merupakan tahap
tertinggi pencapaian spritual tertinggi seorang salik.
D.
Aliran Tarekat Naqsyabandiyah
Nama tarekat besar ini dinisbatkan kepada seorang
sufi besar yang hidup antara tahun 717 H/ 1317 M – 791 H/ 1389 M di kota
Bukhara, wilayah Yugoslowakia sekarang. Ia adalah Muhammad ibn Muhammad
Baha’uddin al-Uwaisi al-Bukhari al-Naqsyabandi. Naqsyabandi dilahirkan di desa
Hinduan yang terletak beberapa kilometer dari kota Bukhara, disini pula ia
wafat dan dimakamkan.[6]
Tarekat ini selain dikenal dengan nama Tarekat
Naqsyabandiyah, juga disebut dengan Tarekat Khawajangan. Nama ini dinisbatkan
kepada Abd. Khaliq Ghujdawani (w.1220 M). Ia adalah seorang sufi dan mursyid
tarekat itu, dan merupakan kakek spiritual al-Naqsyabandi yang keenam.
Ghujdawani adalah peletak dasar Tarekat ini, yang kemudian ditambah oleh
al-Naqsyabandi. Karena Ghujdawani hanya merumuskan delapan ajaran pokok, maka
setelah ditambah oleh al-Naqsyabandi dengan tiga ajaran pokok, maka ajaran
Tarekat Naqsyabandiyah menjadi sebelas.[7]
Ajaran-ajaran Tarekat Naqsyabandiyah:
1). “Huwasy Dardam” , yaitu pemeliharaan keluar
masuknya nafas, supaya hati tidak lupa kepada Allah SWT atau tetap hadirnya
Allah SWT pada waktu masuk dan keluarnya nafas. Setiap murid atau salik
menarikkan dan menghembuskan nafasnya, hendaklah selalu ingat atau hadir
bersama Allah di dalam hati sanubarinya. Ingat kepada Allah setiap keluar
masuknya nafas, berarti memudahkan jalan untuk dekat kepada Allah SWT, dan
sebaliknya lalai atau lupa mengingat Allah, berarti menghambat jalan menuju
kepada- Nya.
2). “Nazhar Barqadlam” yaitu setiap murid atau
salik dalam iktikaf/suluk bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat ke
arah kaki dan apabila dia duduk dia melihat pada kedua tangannya. Dia tidak
boleh memperluas pandangannya ke kiri atau ke kanan, karena dikhawatirkan dapat
membuat hatinya bimbang atau terhambat untuk berzikir atau mengingat Allah SWT.
Nazhar Barqadlam ini lebih ditekankan lagi bagi pengamal tarikat yang baru
suluk, karena yang bersangkutan belum mampu memelihara hatinya.
3). “Safar Darwathan” yaitu perpindahan dari sifat
kemanusiaan yang kotor dan rendah, kepada sifat-sifat kemalaikatan yang bersih
dan suci lagi utama. Karena itu wajiblah bagi si murid atau salik mengontrol
hatinya, agar dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada makhluk.
4). “Khalwat Daranjaman” yaitu setiap murid atau
salik harus selalu menghadirkan hati kepada Allah SWT dalam segala keadaan,
baik waktu sunyi maupun di tempat orang banyak. Dalam Tarikat Naqsyabandiyah
ada dua bentuk khalwat :
a)
Berkhalwat lahir, yaitu orang yang melaksanakan
suluk dengan mengasingkan diri di tempat yang sunyi dari masyarakat ramai.
b)
Khalwat batin, yaitu hati sanubari si murid atau
salik senantiasa musyahadah, menyaksikan rahasia- rahasia kebesaran Allah
walaupun berada di tengah- tengah orang ramai.
5). “Ya Dakrad” yaitu selalu berkekalan zikir
kepada Allah SWT, baik zikir ismus zat (menyebut Allah, Allah,.), zikir nafi
isbat (menyebut la ilaha ilallah), sampai yang disebut dalam zikir itu hadir.
6). “Bar Kasyat” yaitu orang yang berzikir nafi
isbat setelah melepaskan nafasnya, kembali munajat kepada Allah dengan mengucapkan
kalimat yang mullia
“Wahai Tuhan Allah, Engkaulah yang aku maksud
(dalam perjalanan rohaniku ini) dan keridlaan-Mulah yang aku tuntut” . Sehingga
terasa dalam kalbunya rahasia tauhid yang hakiki, dan semua makhluk ini lenyap
dari pemandangannya.
7).“Nakah Dasyat” yaitu setiap murid atau salik
harus memelihara hatinya dari kemasukan sesuatu yang dapat menggoda dan
mengganggunya, walaupun hanya sebentar. Karena godaan yang mengganggu itu
adalah masalah yang besar, yang tidak boleh terjadi dalam ajaran dasar tarikat
ini.
Syekh Abu Bakar Al Kattani berkata, “Saya menjaga
pintu hatiku selama 40 (empat puluh) tahun, aku tiada membukakannya selain
kepada Allah SWT, sehingga menjadilah hatiku itu tidak mengenal seseorang pun
selain daripada Allah SWT.”
Sebagian ulama tasawuf berkata “Aku menjaga hatiku
10 (sepuluh) malam, maka dengan itu hatiku menjaga aku selama 20 (duapuluh)
tahun.”
8).“Bad Dasyat” yaitu tawajuh atau pemusatan
perhatian sepenuhnya pada musyahadah, menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan
Allah SWT terhadap Nur Zat Ahadiyah (Cahaya Yang Maha Esa) tanpa disertai
dengan kata- kata. Keadaan “Bad Dasyat” ini baru dapat dicapai oleh seorang
murid atau salik, setelah dia mengalami fana dan baka yang sempurna. Adapun
tiga ajaran dasar yang berasal dari Bahauddin Naqsyabandi adalah,
9).“Wuquf Zamani” yaitu kontrol yang dilakukan
oleh seorang murid atau salik tentang ingat atau tidaknya ia kepada Allah SWT
setiap dua atau tiga jam. Jika ternyata dia berada dalam keadaan ingat kepada
Allah SWT pada waktu tersebut, ia harus bersyukur dan jika ternyata tidak, ia
harus meminta ampun kepada Allah SWT dan kembali mengingat- Nya.
10).“Wuquf ‘Adadi” yaitu memelihara bilangan
ganjil dalam menyelesaikan zikir nafi isbat, sehingga setiap zikir nafi isbat
tidak diakhiri dengan bilangan genap. Bilangan ganjil itu, dapat saja 3 (tiga)
atau 5 (lima) sampai dengan 21 (duapuluh satu), dan seterusnya.
11).“Wuquf Qalbi” yaitu sebagaimana yang dikatakan
oleh Syekh Ubaidullah Al- Ahrar, “Keadaan hati seorang murid atau salik yang
selalu hadir bersama Allah SWT”. Pikiran yang ada terlebih dahulu dihilangkan
dari segala perasaan, kemudian dikumpulkan segenap tenaga dan panca indera
untuk melakukan tawajuh dengan mata hati yang hakiki, untuk menyelami makrifat
Tuhannya, sehingga tidak ada peluang sedikitpun dalam hati yang ditujukan
kepada selain Allah SWT, dan terlepas dari pengertian zikir.[8]
E.
Aliran Tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah
Tarekat ini didirikan oleh sufi dan syekh besar
majid al-Haram di Makkah. Ia bernama Ahmad Khatib ibn Abd. Ghaffar al-Sambasi
al-Jawi. Ia wafat di Makkah pada tahun 1878 M. Beliau adalah seorang ulama’
besar dari Indonesia, yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah.[9]
Syekh Ahmad Khatib adalah seorang mursyid Tarekat Qadariyah, disamping juga ada
yang menyebutkan bahwa beliau adalah juga mursyid dalam Tarekat Naqsyabandiyah.[10]
Penggabungan inti ajaran kedua tarekat itu
dimungkinkan atas dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran
inti itu bersifat saling melengkapi, terutama dalam hal jenis dizkir dan
metodenya. Tarekat Qadariyah menekankan ajaran pada dzikir jahr nafi isbat, sedangkan
Tarekat Naqsyabandiyah menekankan model dzikr sirr ismu dzat, atau dzikir
lathaif.[11]
Dengan penggabungan itu diharapkan para muridnya dapat mencapai derajat
kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih efektif dan efisien.
Sebagai suatu madzhab dalam tasawuf, Tarekat
Qadariyah wa Naqsyabandiyah memiliki beberapa ajaran yang diyakini akan
kebenarannya, terutama dalam kehidupan kesufian. beberapa ajaran yang merupakan
pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan Thariqat (metode)
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara yang diyakini paling
efektif dan efisien.
Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat
ini yaitu: ajaran tentang kesempurnaan suluk, adab para murid, dzikir, dan
muraqabah. Ke empat ajaran inilah pembentuk citra diri yang paling dominan
dalam kehidupan para pengikut Rarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah.
Ajaran-ajaran tersebut juga pembentuk identitas diri yang membedakan antara
pengikut tarekat dengan yang lain, khususnya ajaran yang bersifat teknis,
seperti tata cara berzikir, muraqabah dan bentuk upacara ritualnya. Berikut
penjelasan dari ke empat ajaran tersebut.
1.
Kesempurnaan Suluk
Ajaran yang sangat di tekankan ini adalah suatu
keyakinan bahwa kesempurnaan suluk (merambah jalan kesufian, dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah), adalah jika berada dalam tiga dimensi
keislaman yaitu Islam, iman, dan ihsan. Akan tetapi ketiga term tersebut
biasanya dikemas dalam suatu ajaran yang sangat populer dengan istilah;
syari’at, tarekat, dan hakikat.[12]
2.
Adab para murid
Betapa pentingnya memperbaiki adab, dan ini merupakan unsur ajaran pokok
yang ada dalam madzhab tasawuf. Secara garis besar, seorang murid (salik)
ataupun ahli tarekat, harus menjaga empat adab, yaitu adab kepada Allah, kepada
Syekh (mursyid dan guru), kepada ikhwan dan adab kepada diri sendiri.
3.
Dzikir
Sebenarnya menurut para ahli tarekat, bahwa tarekat sebagai sebuah metode
untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah bentuk pengabdian yang khas bagi
seseorang, maka ia bisa bermacam-macam. Sedangkan jenis dan bentuknya sesuai
dengan kehalian dan kecenderungan masing-masing orang. Hanya saja yang dituntut
dalam memegangi suatu tarekat (jenis amalan dan pengabdian yang khas bagi
seorang harus bersifat istiqamah) karena hanya dengan istiqamah seseorana akan
mendapat hasil dan karunia Allah secara memuaskan.
4.
Muraqabah
Secara lughaqi, muraqabah berarti mengamat-amati, atau menantikan sesuatu
dengan penuh perhatian.[13]
Tetapi sebagai istilah tasawuf term ini mempunyai arti: terus menerus kesadaran
seorang hamba yang terus menerus atas pengawasan Tuhan terhadap semua
keadaannya. Term ini tampaknya lebih dekat pengertiannya dengan istilah
kontemplasi
Muraqabah memiliki
perbedaan dengan dzikir terutama
pada obyek pemusatan kesadaran (konsentrasinya). Kalau dzikir memiliki obyek
perhatian pada simbol, yang berupa kata atau kalimat, sedangkan muraqabah menjaga
kesadaran atas makna, sifat, qudrat dan iradat Allah. Demikian juga media yang
dipergunakan memiliki perbedaan. Dzikir menggunakan lidah, sedangkan
muraqabah menggunakan kesadaran murni yang berupa imajinasi dan daya khayali.
F.
Aliran Tarekat Tijaniyah
Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Syeikh Abu Abbas
Ahmad Al-Tijani, bin Muhammad bin Muhtar bin Ahmad, bin Muhammad, bin Salim,
bin Ahmad yang bergelar Al-Alwaany, bin Ahmad, bin Aly, bin Abdullah, bin
Abbas, bin Ahd. Jabbar, bin Idris, bin Ishaq, bin Aly Zainal-Abidin, bin Ahmad,
bin Muhammad An-Nafsu Az-Zakiyah, bin Abdullah, bin Hasan Almutsanna, bin
Al-Hasan Alsibthi, bin Aly bin Abi Thalib dari Saiyidah Fathimah Az-Zahra putri
kesayangan Saiyidul Wujud Nabi Muhammad Saw. Jadi beliau adalah dzurriyatul Rasul,
bangsa Saiyid/habib dari keturunan Saiyidina Hasan Assibthy (Alhasaniy).[14]
Selama hidupnya, Al-Tijani mengkhususkan perhatian
pada tasawuf dan pengembangan tarekatnya di tengah-tengah masyarakat. Oleh
karena itu, berkali-kali ia diajak oleh penguasa untuk bergabung dalam politik
namun ia menolak. Meskipun demikian, pihak penguasa Maulay Sulaiman tetap
mencintainya dan memberi berbagai hak istimewa kepadanya.
Al-Tijani tidak meninggalkan karya tulis. Beberapa
murid-muridnya yang menulis, baik berkenaan dengan kehidupan al-Tijani maupun
ajaran-ajaran tarekatnya. Hal itu dapat dilihat dalam Jawahir al-Maany Wa
Bulugh al-Amany Fi Faidhi Sayyidy Abi Abbas al-Tijany. Muridnya yang lain
menulis tentang beberapa ajaran tarekatnya dalam Kasyfu al-Hijab Amman Talaqqa
Maa al-Tijani min al-Ahzab.[15]
Ajaran-ajaran tarekat ini hanya dapat dirujuk
dalam bentuk buku-buku karya murid-muridnya, misalnya Jawahir al-Ma'ani wa
Biligh al-Amani fi-Faidhi as-Syekh at-Tijani, Kasyf al-Hijab Amman Talaqqa Ma'a
at-Tijani min al-Ahzab, dan As-Sirr al-Abhar fi-Aurad Ahmad at-Tijani. Dua
kitab yang disebut pertama ditulis langsung oleh murid at-Tijani sendiri, dan
dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan masuk ke dalam Tarekat
Tijaniyah pada abad ke-19.
Tarekat Tijaniyah mempunyai wirid yang sangat
sederhana dan wadhifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari Istighfar,
Shalawat dan Tahlil yang masing-masing dibaca sebanyak 100 kali. Boleh
dilakukan dua kali dalam sehari, setelah shalat Shubuh dan Ashar. Wadhifahnya
terdiri dari Istighfar (astaghfirullah al-adzim alladzi laa ilaha illa huwa al
hayyu al-qayyum) sebanyak 30 kali, Shalawat Fatih (Allahumma shalli 'ala
sayyidina Muhammad al-fatih lima ughliqa wa al-khatim lima sabaqa, nasir
al-haqq bi al-haqq wa al-hadi ila shirat al-mustaqim wa'ala alihi haqqaqadruhu
wa miqdaruh al-adzim) sebanyak 50 kali, Tahlil (La ilaaha illallah) sebanyak
100 kali, dan ditutup dengan doa Jauharatul Kamal sebanyak 12 kali.[16]
G.
Aliran Tarekat Sanusiyyah
Tarekat Sanusiyah bukan semata-mata tarekat biasa,
melainkan ia adalah sebuah gerakan. Gerakan tajdid dan islam. Pengasasnya
adalah Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi.
Syeikh Muhammad bin Ali as-Sanusi telah dilahirkan
pada hari Isnin 12 Rabiulawal 1202H/22 Disember 1787M di sebuah tempat yang bernama
al-Wasitah, di Mustaghanim, Algeria.
Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi adalah seorang ulama
yang ikhlas dan suka merendahkan dirinya. Oleh itu, beliau telah mencapai
kemajuan yang pesat di atas jalan kerohanian.
Tarekatnya bebas dari syirik dan khurafat. Beliau
menyeru kepada ijtihad dan memerangi taqlid. Syeikh as-Sanusi yang bermazhab
Maliki, akan menyalahi pendapat mazhabnya jika ada mazhab lain yang lebih
mendekati kepada kebenaran.
Dalam tarekat ini, dzikir bisa dilakukan
bersama-sama atau sendirian. Tujuan dzikir itu lebih dimaksudkan untuk “melihat
Nabi” ketimbang “melihat Tuhan”, sehingga tidak dikenal “keadaan ekstatis”’
sebagaimana yang ada pada tarekat lain.[17]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Terdapat banyak sekali aliran
tarekat yang ada di dunia. Ke-7 macam aliran yang sudah di jelaskan di bab II
merupakan sebagian dari sekian banyak aliran-aliran tarekat yang telah ada.
Aliran di atas yaitu: Qadariyah, Syadzaliyyah, Syattariyah, Naqsabandiyah,
Qadariyah wa Naqsyabandiyah, Tijaniyyah, Sanusiyyah. Memiliki kriteria dan
ke-khasan tersendiri dalam menempuh perjalanan dalam rangka penguatan agama
islam, iman, dan ihsan. Baik antara hubungan antar manusia ataupun hubungan
dengan Tuhan.
Dari kesemua aliran-aliran
yang telah dipaparkan pada penjelasan di atas, bahwa dalam bertarikat ada yang
memiliki kesamaan dan ada pula yang memiliki perbedaan antara satu aliran
tarekat dengan aliran tarekat yang lain.
Kesamaan yang dimiliki semua
aliran-aliran tarekat yaitu dalam bertauhid. Mereka sama-sama berjuang untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Dengan adanya sistem atau aturan yang sudah ada
pada ajaran tarekat, diharapkan untuk mempermudah murid dalam mendekatkan diri
kepada Allah.
Dan perbedaannya hanya pada
cara, berbagai fariasi alat atau proses yang digunakan sebagai media yang
digunakan guna bisa lebih dekat dengan sang Khaliq. Dan hal yang demikian
tersebut adalah sebuah jalan yang dipilih oleh si murid untuk memudahkan diri
dalam mendekatkan diri kepada Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hawas. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan
Tokoh-Tokihnya di Nusantara (Surabaya: al-Ikhlas, 1980)
Abdurrahman, Muslikh. Risalah
Tuntutan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah,
jilid I-II (Kudus: Menara Kudus,1976)
Al-Kurdi, Amin. Tanwir
al-Qulub fi Muallamati Allam al-Guyub (Beirut: Dar al-Fikr, t. Th.)
Aqib, Kharisudin. Al-Hikmah; Memahami Teosofi Tarekat
Qadariyah Wa Naqsyabandiyah, (Surabaya: dunia ilmu, 2000)
Bahri, Fadhli. Terj.
Dhahir, Ilahi, Ihsan (Dirasat fi At-Tasawuf).Darah Hitam Tasawuf:
Studi Krisis Kesesatan Kaum Sufi. Jakarta: Darul Fatah. 2008
Fathullah,
Fauzan. Biografi Saiyidul Awliyaa Syeikh Ahmad Attijaniy dan Thariqatnya
Attijaniyah, (Madura: Bintang Samudera, 1985)
Khaliq, Abdur Rahman Abdul. Penyimpangan-penyimpangan Tasawuf, terj.
Ahmad Misbach, (Jakarta: Robbani Press, 2001)
Mulyati,
Sri. Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006)
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus
Arab Indonesia (Yogyakarta: P.P. Al-Munawwir, 1984)
Trimingham, J. Spencer. The
Sufi Orders in Islam (London: Oxford University Press, 1973)
Yahya, Zurkani. Tarekat
Qodiriyah wa Naqsyabandiyah: Sejarah Asal Usul dan Perkembangannya (Tasikmalaya:
IAILM, 1990)
http://hukumalam.wordpress.com/manusia-dalam-proses/ajaran/ajaran-dasar-thoriqoh-naqsyabandiyah/
(diakses 28 Oktober 2014)
http://sufiroad.blogspot.com/2008/09/manakib-syeikh-muhammad-ali-as-sanusi.html
(diakses 27 Oktober 2014)
http://www.pejalanruhani.com/2012/11/ajaran-dan-dzikir-tarekat-tijaniyah.html (diakses
28 Oktober 2014)
[1] J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (London:
Oxford University Press, 1973), h. 40
[2] Ibid., h. 41
[3] Ibid., h. 271-273
[4]
Fadhli Bahri, Terj. Ihsan Ilahi Dhahir, Darah
Hitam Tasawuf: Studi Krisis Kesesatan Kaum Sufi. (Jakarta: Darul Fatah,
2008), h. 270
[5] Sri Mulyati, Mengenal
dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2006)
[6] Drs. Kharisudin Aqib, Al-Hikmah; Memahami Teosofi
Tarekat Qadariyah Wa Naqsyabandiyah, (Surabaya: dunia ilmu, 2000), h. 50
[7] S. Spencer Trimingham.1973, h. 62-63
[8] http://hukumalam.wordpress.com/manusia-dalam-proses/ajaran/ajaran-dasar-thoriqoh-naqsyabandiyah/ (diakses 28 Oktober 2014)
[9] Hawas Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan
Tokoh-Tokihnya di Nusantara (Surabaya: al-Ikhlas, 1980), h. 177
[10] Zurkani Yahya, Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah:
Sejarah Asal Usul dan Perkembangannya (Tasikmalaya: IAILM, 1990), h. 1963
[11] Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Muallamati Allam
al-Guyub (Beirut: Dar al-Fikr, t. Th.), h.508
[12] Muslikh Abdurrahman, Risalah Tuntutan Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, jilid
I-II (Kudus: Menara Kudus,1976) h. 20-21
[13] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta:
P.P. Al-Munawwir, 1984), h. 557
[14] Fauzan Fathullah, Biografi Saiyidul
Awliyaa Syeikh Ahmad Attijaniy dan Thariqatnya Attijaniyah, (Madura:
Bintang Samudera, 1985), h.52
[15]
Abdur Rahman Abdul Khaliq, Penyimpangan-penyimpangan Tasawuf, terj. Ahmad
Misbach, (Jakarta: Robbani Press, 2001), h. 299-301
[16] http://www.pejalanruhani.com/2012/11/ajaran-dan-dzikir-tarekat-tijaniyah.html (diakses 28 Oktober 2014)
[17] http://sufiroad.blogspot.com/2008/09/manakib-syeikh-muhammad-ali-as-sanusi.html (diakses 27 Oktober 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar