Rabu, 12 November 2014

Aliran-Aliran Tarekat

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
“Zuhhad” (orang-orang yang berperilaku zuhud), ”nussak” (orang-orang yang berusaha melakukan segala ajaran agama) atau “ubbad” (orang yang rajin melaksanakan ibadah). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh, kemudian berkembang menjadi alat untuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam yaitu berkehendak mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepeda Allah SWT. yang sebenar-benarnya, melalui riyadloh (laku prihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah) atau dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh di mulai dengan ”takhalli” yaitu mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela, lalu ”tahalli” yaitu menghiasi hati dengan sifat yang terpuji, lalu ”tajalli” yaitu mendapatkan pencerahan dari Allah SWT.
Tata cara kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang dikalangan masyarakat Muslim, yang pada akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan sebutan ilmu “Tashawuf”. Sejak munculyna Tashawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah “Thoriqoh” yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada suatu yang tertentu, yaitu sekumpulan aqidah-aqidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi kaum Shufi.
Thoriqoh adalah salah satu amaliyah keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan, perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah paktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thoriqoh dari generasi ke generasi sampai kita sekarang. Akhirnya muncul aliran-aliran thoriqoh yang mengambil nama dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qadariyah, Syadzaliyyah, Syattariyah, Naqsabandiyah, Qadariyah wa Naqsyabandiyah, Tijaniyyah, Sanusiyyah dan lain sebagainya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah ajaran tarekat Qadariyah
2.      Bagaimanakah ajaran tarekat Syadziliyyah
3.      Bagaimanakah ajaran tarekat Syattariyah
4.      Bagaimanakah ajaran tarekat Naqsyabandiyah
5.      Bagaimanakah ajaran tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah
6.      Bagaimanakah ajaran tarekat Tijaniyah
7.      Bagaimanakah ajaran tarekat Sanusiyyah
C.    Tujuan
1.      Mengetahui dan memahami ajaran tarekat Qadariyah
2.      Mengetahui dan memahami ajaran tarekat Syadziliyyah
3.      Mengetahui dan memahami ajaran tarekat Syattariyah
4.      Mengetahui dan memahami ajaran tarekat Naqsyabandiyah
5.      Mengetahui dan memahami ajaran tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah
6.      Mengetahui dan memahami ajaran tarekat Tijaniyah
7.      Mengetahui dan memahami ajaran tarekat Sanusiyyah



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Aliran Tarekat Qadariyah
Nama tarekat ini dinisbatkan kepada seorang sufi besar yang sangat legendaris, dengan sekian banyak sebutan kehormatan, antara lain: Qutub al-auliya’, Sahib al-karamat, dan Sultan al-auliya’. Ia diyakini sebagai pemilik dan pendiri tarekat ini. Sufi besar itu adalah Syekh Muhyiddin Abd Qadir al-Jailani.[1]
Syekh Abd. Qadir al-Jailani dilahirkan pada tahun 470 H (1077 M) di Jilan (wilayah Iraq sekarang), dan meninggal di Baghdad pada tahun 561 H (1166 M).[2] Beliau adalah seorang sufi besar yang kealiman dan kepribadiannya banyak mendapat pujian dari para sufi dan ulama’ sesudahnya.
Perkembangan tarekat ini ke berbagai daerah kekuasaan Islam di luar Baghdad adalah suatu hal yang wajar. Karena sejak zaman Syekh Abd. Qadir al-Jailani, sudah ada beberapa muridnya yang mengajarkan metode dan ajaran tasawufnya ke berbagai negeri Islam.
Tarekat Qadariyah sampai dengan sekarang ini, masih merupakan tarekat yang terbesar di dunia Islam, dengan berjuta-juta pengikutnya. Mereka tersebar di berbagai penjuru dunia, seperti Yaman, Mesir, India, Turki, Syiria, dan Afrika. Dan ada sekitar 29 jenis tarekat baru yang merupakan modifikasi baru dari Tarekat Qadariyah.[3] Ini terjadi karena dalam Tarekat Qadariyah ada kebebasan bagi para murid yang telah mencapai tingkatan mursyid, untuk tidak terikat dengan metode yang diberikan oleh mursyidnya, dan bisa membuat metode riyadah tersendiri.
Dasar pokok ajaran Thariqoh Qadariyah yaitu:
         Tinggi cita-cita
         Menjaga kehormatan
         Baik pelayanan
         Kuat pendirian
         Membesarkan nikmat Tuhan

B.     Aliran Tarekat Syadziliyyah
Tarekat Syadziliah, dihubungkan kepada Syekh Ahmad Asy-Syadzili. Nama kecil Syekh Abul Hasan Asy Syadzili adalah Ali, gelarnya adalah Taqiyuddin, Julukanya adalah Abu Hasan dan nama populernya adalah Asy-Syadzili. Di kalangan tarekat Syadziliyah silsilah keturunan asy-Syadzili dihubungkan dengan Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian ia juga mempunyai hubungan darah dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah SAW. Nasab atau garis keturunan Abu Hasan al-Syadzili bersambung sampai dengan Rasulullah SAW. Sebagian besar sumber yang berbicara tentang sejarah Asy-Syadzili mengemukakan bahwa dia lahir di negeri Maghrib pada tahun 593 H (1197 M), di sebuah desa yang bernama Ghumarah, dekat kota Sabtah, negeri Maghrib al Aqsho atau Marokko, Afrika Utara, dan meninggal di Mesir pada tahun 656H/1258M, yang mempunyai pengikut di Mesir, Afrika Utara, Syiria, dan Negri-negri Arab lainnya. [4]
Pokok-pokok ajarannya antara lain:
·         Bertaqwa kepada Allah ditempat sunyi dan ramai
·         Mengikuti sunnah dalam segala perkataan dan perbuatan
·         Berpaling hati dari makhluk waktu berhadapan dari waktu membelakangi
·         Kembali kepada Allah diwaktu senang dan susah
C.    Aliran Tarekat Syattariyah
Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana'. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana'ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.
Sebagaimana halnya tarekat-tarekat lain, Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir di dalam ajarannya[5]. Tiga kelompok yang disebut di atas, masing-masing memiliki metode berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca al-Qur'an, melaksanakan haji, dan berjihad. Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketisme atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati. Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan bimbingan langsung dari arwah para wali. Menurut para tokohnya, dzikir kaum Syattar inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT.
Ajaran-ajaran tarekat Syattariyah yaitu praktek yoga yang merupakan ajaran agama hindu, diadopsi dan dipraktekkan menjadi bagian dari formulasi dzikir tarekat syattariyah, karna memang konsep dan ritual Islam, khususnya aspek tasawuf memiliki kedekatan dengan dengan ajaran Hindu.
Dalam apa yang disebut sebagai astanga-yoga misalnya, terdapat 5 hal berkaitan dengan latihan tubuh lahir, yakni: pengendalian diri, ketaatan, duduk dengan posisi tertentu, mengatur nafas dan menutup seluruh panca indra.
Adapun 3 hal yang berkaitan dengan penyempurnaan rohani, juga merupakan kelanjutan dari 5 tahap lahir sebelumnya adalah konsentrasi pikiran pada satu fokus tertentu, meditasi, samadi. Yang disebut terakhir merupakan suatu keadaan yang agak sulit dilukiskan dengan kata-kata. Seseorang yang tengah berada dalam keadaan samadi, akan merasakan kebahagiaan besar dalam dirinya. Lebih jauh kesendirianya sebagai manusia pun akan hilang. Dalam dunia tasawuf, keadaan samadhi ini mirip dengan konsep fana, yang merupakan tahap tertinggi pencapaian spritual tertinggi seorang salik.
D.    Aliran Tarekat Naqsyabandiyah
Nama tarekat besar ini dinisbatkan kepada seorang sufi besar yang hidup antara tahun 717 H/ 1317 M – 791 H/ 1389 M di kota Bukhara, wilayah Yugoslowakia sekarang. Ia adalah Muhammad ibn Muhammad Baha’uddin al-Uwaisi al-Bukhari al-Naqsyabandi. Naqsyabandi dilahirkan di desa Hinduan yang terletak beberapa kilometer dari kota Bukhara, disini pula ia wafat dan dimakamkan.[6]
Tarekat ini selain dikenal dengan nama Tarekat Naqsyabandiyah, juga disebut dengan Tarekat Khawajangan. Nama ini dinisbatkan kepada Abd. Khaliq Ghujdawani (w.1220 M). Ia adalah seorang sufi dan mursyid tarekat itu, dan merupakan kakek spiritual al-Naqsyabandi yang keenam. Ghujdawani adalah peletak dasar Tarekat ini, yang kemudian ditambah oleh al-Naqsyabandi. Karena Ghujdawani hanya merumuskan delapan ajaran pokok, maka setelah ditambah oleh al-Naqsyabandi dengan tiga ajaran pokok, maka ajaran Tarekat Naqsyabandiyah menjadi sebelas.[7]
Ajaran-ajaran Tarekat Naqsyabandiyah:
1). “Huwasy Dardam” , yaitu pemeliharaan keluar masuknya nafas, supaya hati tidak lupa kepada Allah SWT atau tetap hadirnya Allah SWT pada waktu masuk dan keluarnya nafas. Setiap murid atau salik menarikkan dan menghembuskan nafasnya, hendaklah selalu ingat atau hadir bersama Allah di dalam hati sanubarinya. Ingat kepada Allah setiap keluar masuknya nafas, berarti memudahkan jalan untuk dekat kepada Allah SWT, dan sebaliknya lalai atau lupa mengingat Allah, berarti menghambat jalan menuju kepada- Nya.
2). “Nazhar Barqadlam” yaitu setiap murid atau salik dalam iktikaf/suluk bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat ke arah kaki dan apabila dia duduk dia melihat pada kedua tangannya. Dia tidak boleh memperluas pandangannya ke kiri atau ke kanan, karena dikhawatirkan dapat membuat hatinya bimbang atau terhambat untuk berzikir atau mengingat Allah SWT. Nazhar Barqadlam ini lebih ditekankan lagi bagi pengamal tarikat yang baru suluk, karena yang bersangkutan belum mampu memelihara hatinya.
3). “Safar Darwathan” yaitu perpindahan dari sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah, kepada sifat-sifat kemalaikatan yang bersih dan suci lagi utama. Karena itu wajiblah bagi si murid atau salik mengontrol hatinya, agar dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada makhluk.
4). “Khalwat Daranjaman” yaitu setiap murid atau salik harus selalu menghadirkan hati kepada Allah SWT dalam segala keadaan, baik waktu sunyi maupun di tempat orang banyak. Dalam Tarikat Naqsyabandiyah ada dua bentuk khalwat :
a)        Berkhalwat lahir, yaitu orang yang melaksanakan suluk dengan mengasingkan diri di tempat yang sunyi dari masyarakat ramai.
b)        Khalwat batin, yaitu hati sanubari si murid atau salik senantiasa musyahadah, menyaksikan rahasia- rahasia kebesaran Allah walaupun berada di tengah- tengah orang ramai.
5). “Ya Dakrad” yaitu selalu berkekalan zikir kepada Allah SWT, baik zikir ismus zat (menyebut Allah, Allah,.), zikir nafi isbat (menyebut la ilaha ilallah), sampai yang disebut dalam zikir itu hadir.

6). “Bar Kasyat” yaitu orang yang berzikir nafi isbat setelah melepaskan nafasnya, kembali munajat kepada Allah dengan mengucapkan kalimat yang mullia
“Wahai Tuhan Allah, Engkaulah yang aku maksud (dalam perjalanan rohaniku ini) dan keridlaan-Mulah yang aku tuntut” . Sehingga terasa dalam kalbunya rahasia tauhid yang hakiki, dan semua makhluk ini lenyap dari pemandangannya.
7).“Nakah Dasyat” yaitu setiap murid atau salik harus memelihara hatinya dari kemasukan sesuatu yang dapat menggoda dan mengganggunya, walaupun hanya sebentar. Karena godaan yang mengganggu itu adalah masalah yang besar, yang tidak boleh terjadi dalam ajaran dasar tarikat ini.
Syekh Abu Bakar Al Kattani berkata, “Saya menjaga pintu hatiku selama 40 (empat puluh) tahun, aku tiada membukakannya selain kepada Allah SWT, sehingga menjadilah hatiku itu tidak mengenal seseorang pun selain daripada Allah SWT.”
Sebagian ulama tasawuf berkata “Aku menjaga hatiku 10 (sepuluh) malam, maka dengan itu hatiku menjaga aku selama 20 (duapuluh) tahun.”
8).“Bad Dasyat” yaitu tawajuh atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah, menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT terhadap Nur Zat Ahadiyah (Cahaya Yang Maha Esa) tanpa disertai dengan kata- kata. Keadaan “Bad Dasyat” ini baru dapat dicapai oleh seorang murid atau salik, setelah dia mengalami fana dan baka yang sempurna. Adapun tiga ajaran dasar yang berasal dari Bahauddin Naqsyabandi adalah,
9).“Wuquf Zamani” yaitu kontrol yang dilakukan oleh seorang murid atau salik tentang ingat atau tidaknya ia kepada Allah SWT setiap dua atau tiga jam. Jika ternyata dia berada dalam keadaan ingat kepada Allah SWT pada waktu tersebut, ia harus bersyukur dan jika ternyata tidak, ia harus meminta ampun kepada Allah SWT dan kembali mengingat- Nya.
10).“Wuquf ‘Adadi” yaitu memelihara bilangan ganjil dalam menyelesaikan zikir nafi isbat, sehingga setiap zikir nafi isbat tidak diakhiri dengan bilangan genap. Bilangan ganjil itu, dapat saja 3 (tiga) atau 5 (lima) sampai dengan 21 (duapuluh satu), dan seterusnya.
11).“Wuquf Qalbi” yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Ubaidullah Al- Ahrar, “Keadaan hati seorang murid atau salik yang selalu hadir bersama Allah SWT”. Pikiran yang ada terlebih dahulu dihilangkan dari segala perasaan, kemudian dikumpulkan segenap tenaga dan panca indera untuk melakukan tawajuh dengan mata hati yang hakiki, untuk menyelami makrifat Tuhannya, sehingga tidak ada peluang sedikitpun dalam hati yang ditujukan kepada selain Allah SWT, dan terlepas dari pengertian zikir.[8]
E.     Aliran Tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah
Tarekat ini didirikan oleh sufi dan syekh besar majid al-Haram di Makkah. Ia bernama Ahmad Khatib ibn Abd. Ghaffar al-Sambasi al-Jawi. Ia wafat di Makkah pada tahun 1878 M. Beliau adalah seorang ulama’ besar dari Indonesia, yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah.[9] Syekh Ahmad Khatib adalah seorang mursyid Tarekat Qadariyah, disamping juga ada yang menyebutkan bahwa beliau adalah juga mursyid dalam Tarekat Naqsyabandiyah.[10]
Penggabungan inti ajaran kedua tarekat itu dimungkinkan atas dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran inti itu bersifat saling melengkapi, terutama dalam hal jenis dizkir dan metodenya. Tarekat Qadariyah menekankan ajaran pada dzikir jahr nafi isbat, sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah menekankan model dzikr sirr ismu dzat, atau dzikir lathaif.[11] Dengan penggabungan itu diharapkan para muridnya dapat mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih efektif dan efisien.
Sebagai suatu madzhab dalam tasawuf, Tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah memiliki beberapa ajaran yang diyakini akan kebenarannya, terutama dalam kehidupan kesufian. beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan Thariqat (metode) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara yang diyakini paling efektif dan efisien.
Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini yaitu: ajaran tentang kesempurnaan suluk, adab para murid, dzikir, dan muraqabah. Ke empat ajaran inilah pembentuk citra diri yang paling dominan dalam kehidupan para pengikut Rarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah. Ajaran-ajaran tersebut juga pembentuk identitas diri yang membedakan antara pengikut tarekat dengan yang lain, khususnya ajaran yang bersifat teknis, seperti tata cara berzikir, muraqabah dan bentuk upacara ritualnya. Berikut penjelasan dari ke empat ajaran tersebut.


1.      Kesempurnaan Suluk
Ajaran yang sangat di tekankan ini adalah suatu keyakinan bahwa kesempurnaan suluk (merambah jalan kesufian, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah), adalah jika berada dalam tiga dimensi keislaman yaitu Islam, iman, dan ihsan. Akan tetapi ketiga term tersebut biasanya dikemas dalam suatu ajaran yang sangat populer dengan istilah; syari’at, tarekat, dan hakikat.[12]
2.      Adab para murid
Betapa pentingnya memperbaiki adab, dan ini merupakan unsur ajaran pokok yang ada dalam madzhab tasawuf. Secara garis besar, seorang murid (salik) ataupun ahli tarekat, harus menjaga empat adab, yaitu adab kepada Allah, kepada Syekh (mursyid dan guru), kepada ikhwan dan adab kepada diri sendiri.
3.      Dzikir
Sebenarnya menurut para ahli tarekat, bahwa tarekat sebagai sebuah metode untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah bentuk pengabdian yang khas bagi seseorang, maka ia bisa bermacam-macam. Sedangkan jenis dan bentuknya sesuai dengan kehalian dan kecenderungan masing-masing orang. Hanya saja yang dituntut dalam memegangi suatu tarekat (jenis amalan dan pengabdian yang khas bagi seorang harus bersifat istiqamah) karena hanya dengan istiqamah seseorana akan mendapat hasil dan karunia Allah secara memuaskan.
4.      Muraqabah
Secara lughaqi, muraqabah berarti mengamat-amati, atau menantikan sesuatu dengan penuh perhatian.[13] Tetapi sebagai istilah tasawuf term ini mempunyai arti: terus menerus kesadaran seorang hamba yang terus menerus atas pengawasan Tuhan terhadap semua keadaannya. Term ini tampaknya lebih dekat pengertiannya dengan istilah kontemplasi
Muraqabah memiliki perbedaan dengan dzikir  terutama pada obyek pemusatan kesadaran (konsentrasinya). Kalau dzikir memiliki obyek perhatian pada simbol, yang berupa kata atau kalimat, sedangkan muraqabah menjaga kesadaran atas makna, sifat, qudrat dan iradat Allah. Demikian juga media yang dipergunakan memiliki perbedaan. Dzikir menggunakan lidah, sedangkan muraqabah menggunakan kesadaran murni yang berupa imajinasi dan daya khayali.
F.     Aliran Tarekat Tijaniyah
Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Syeikh Abu Abbas Ahmad Al-Tijani, bin Muhammad bin Muhtar bin Ahmad, bin Muhammad, bin Salim, bin Ahmad yang bergelar Al-Alwaany, bin Ahmad, bin Aly, bin Abdullah, bin Abbas, bin Ahd. Jabbar, bin Idris, bin Ishaq, bin Aly Zainal-Abidin, bin Ahmad, bin Muhammad An-Nafsu Az-Zakiyah, bin Abdullah, bin Hasan Almutsanna, bin Al-Hasan Alsibthi, bin Aly bin Abi Thalib dari Saiyidah Fathimah Az-Zahra putri kesayangan Saiyidul Wujud Nabi Muhammad Saw. Jadi beliau adalah dzurriyatul Rasul, bangsa Saiyid/habib dari keturunan Saiyidina Hasan Assibthy (Alhasaniy).[14]
Selama hidupnya, Al-Tijani mengkhususkan perhatian pada tasawuf dan pengembangan tarekatnya di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, berkali-kali ia diajak oleh penguasa untuk bergabung dalam politik namun ia menolak. Meskipun demikian, pihak penguasa Maulay Sulaiman tetap mencintainya dan memberi berbagai hak istimewa kepadanya.
Al-Tijani tidak meninggalkan karya tulis. Beberapa murid-muridnya yang menulis, baik berkenaan dengan kehidupan al-Tijani maupun ajaran-ajaran tarekatnya. Hal itu dapat dilihat dalam Jawahir al-Maany Wa Bulugh al-Amany Fi Faidhi Sayyidy Abi Abbas al-Tijany. Muridnya yang lain menulis tentang beberapa ajaran tarekatnya dalam Kasyfu al-Hijab Amman Talaqqa Maa al-Tijani min al-Ahzab.[15]
Ajaran-ajaran tarekat ini hanya dapat dirujuk dalam bentuk buku-buku karya murid-muridnya, misalnya Jawahir al-Ma'ani wa Biligh al-Amani fi-Faidhi as-Syekh at-Tijani, Kasyf al-Hijab Amman Talaqqa Ma'a at-Tijani min al-Ahzab, dan As-Sirr al-Abhar fi-Aurad Ahmad at-Tijani. Dua kitab yang disebut pertama ditulis langsung oleh murid at-Tijani sendiri, dan dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan masuk ke dalam Tarekat Tijaniyah pada abad ke-19.
Tarekat Tijaniyah mempunyai wirid yang sangat sederhana dan wadhifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari Istighfar, Shalawat dan Tahlil yang masing-masing dibaca sebanyak 100 kali. Boleh dilakukan dua kali dalam sehari, setelah shalat Shubuh dan Ashar. Wadhifahnya terdiri dari Istighfar (astaghfirullah al-adzim alladzi laa ilaha illa huwa al hayyu al-qayyum) sebanyak 30 kali, Shalawat Fatih (Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad al-fatih lima ughliqa wa al-khatim lima sabaqa, nasir al-haqq bi al-haqq wa al-hadi ila shirat al-mustaqim wa'ala alihi haqqaqadruhu wa miqdaruh al-adzim) sebanyak 50 kali, Tahlil (La ilaaha illallah) sebanyak 100 kali, dan ditutup dengan doa Jauharatul Kamal sebanyak 12 kali.[16]
G.    Aliran Tarekat Sanusiyyah
Tarekat Sanusiyah bukan semata-mata tarekat biasa, melainkan ia adalah sebuah gerakan. Gerakan tajdid dan islam. Pengasasnya adalah Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi.
Syeikh Muhammad bin Ali as-Sanusi telah dilahirkan pada hari Isnin 12 Rabiulawal 1202H/22 Disember 1787M di sebuah tempat yang bernama al-Wasitah, di Mustaghanim, Algeria.
Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi adalah seorang ulama yang ikhlas dan suka merendahkan dirinya. Oleh itu, beliau telah mencapai kemajuan yang pesat di atas jalan kerohanian.
Tarekatnya bebas dari syirik dan khurafat. Beliau menyeru kepada ijtihad dan memerangi taqlid. Syeikh as-Sanusi yang bermazhab Maliki, akan menyalahi pendapat mazhabnya jika ada mazhab lain yang lebih mendekati kepada kebenaran.
Dalam tarekat ini, dzikir bisa dilakukan bersama-sama atau sendirian. Tujuan dzikir itu lebih dimaksudkan untuk “melihat Nabi” ketimbang “melihat Tuhan”, sehingga tidak dikenal “keadaan ekstatis”’ sebagaimana yang ada pada tarekat lain.[17]




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Terdapat banyak sekali aliran tarekat yang ada di dunia. Ke-7 macam aliran yang sudah di jelaskan di bab II merupakan sebagian dari sekian banyak aliran-aliran tarekat yang telah ada. Aliran di atas yaitu: Qadariyah, Syadzaliyyah, Syattariyah, Naqsabandiyah, Qadariyah wa Naqsyabandiyah, Tijaniyyah, Sanusiyyah. Memiliki kriteria dan ke-khasan tersendiri dalam menempuh perjalanan dalam rangka penguatan agama islam, iman, dan ihsan. Baik antara hubungan antar manusia ataupun hubungan dengan Tuhan.
Dari kesemua aliran-aliran yang telah dipaparkan pada penjelasan di atas, bahwa dalam bertarikat ada yang memiliki kesamaan dan ada pula yang memiliki perbedaan antara satu aliran tarekat dengan aliran tarekat yang lain.
Kesamaan yang dimiliki semua aliran-aliran tarekat yaitu dalam bertauhid. Mereka sama-sama berjuang untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan adanya sistem atau aturan yang sudah ada pada ajaran tarekat, diharapkan untuk mempermudah murid dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Dan perbedaannya hanya pada cara, berbagai fariasi alat atau proses yang digunakan sebagai media yang digunakan guna bisa lebih dekat dengan sang Khaliq. Dan hal yang demikian tersebut adalah sebuah jalan yang dipilih oleh si murid untuk memudahkan diri dalam mendekatkan diri kepada Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hawas.  Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokihnya di Nusantara (Surabaya: al-Ikhlas, 1980)
Abdurrahman, Muslikh. Risalah Tuntutan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah,  jilid I-II (Kudus: Menara Kudus,1976)
Al-Kurdi, Amin. Tanwir al-Qulub fi Muallamati Allam al-Guyub (Beirut: Dar al-Fikr, t. Th.)
Aqib, Kharisudin.  Al-Hikmah; Memahami Teosofi Tarekat Qadariyah Wa Naqsyabandiyah, (Surabaya: dunia ilmu, 2000)
Bahri, Fadhli. Terj. Dhahir, Ilahi, Ihsan (Dirasat fi At-Tasawuf).Darah Hitam Tasawuf: Studi Krisis Kesesatan Kaum Sufi. Jakarta: Darul Fatah. 2008
Fathullah, Fauzan. Biografi Saiyidul Awliyaa Syeikh Ahmad Attijaniy dan Thariqatnya Attijaniyah, (Madura: Bintang Samudera, 1985)
Khaliq, Abdur Rahman Abdul. Penyimpangan-penyimpangan Tasawuf, terj. Ahmad Misbach, (Jakarta: Robbani Press, 2001)
Mulyati, Sri. Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006)
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: P.P. Al-Munawwir, 1984)
Trimingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam (London: Oxford University Press, 1973)
Yahya, Zurkani. Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah: Sejarah Asal Usul dan Perkembangannya (Tasikmalaya: IAILM, 1990)




[1] J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (London: Oxford University Press, 1973), h. 40
[2] Ibid., h. 41
[3] Ibid., h. 271-273
[4] Fadhli Bahri, Terj. Ihsan Ilahi Dhahir,  Darah Hitam Tasawuf: Studi Krisis Kesesatan Kaum Sufi. (Jakarta: Darul Fatah, 2008),  h. 270
[5] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006)
[6] Drs. Kharisudin Aqib, Al-Hikmah; Memahami Teosofi Tarekat Qadariyah Wa Naqsyabandiyah, (Surabaya: dunia ilmu, 2000), h. 50
[7] S. Spencer Trimingham.1973, h. 62-63
[9] Hawas Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokihnya di Nusantara (Surabaya: al-Ikhlas, 1980), h. 177
[10] Zurkani Yahya, Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah: Sejarah Asal Usul dan Perkembangannya (Tasikmalaya: IAILM, 1990), h. 1963
[11] Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Muallamati Allam al-Guyub (Beirut: Dar al-Fikr, t. Th.), h.508
[12] Muslikh Abdurrahman, Risalah Tuntutan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah,  jilid I-II (Kudus: Menara Kudus,1976) h. 20-21
[13] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: P.P. Al-Munawwir, 1984), h. 557
[14] Fauzan Fathullah, Biografi Saiyidul Awliyaa Syeikh Ahmad Attijaniy dan Thariqatnya Attijaniyah, (Madura: Bintang Samudera, 1985), h.52
[15] Abdur Rahman Abdul Khaliq, Penyimpangan-penyimpangan Tasawuf, terj. Ahmad Misbach, (Jakarta: Robbani Press, 2001), h. 299-301

Tidak ada komentar:

Posting Komentar